You are currently viewing Sepatu Tua Pak Ahmad

Sepatu Tua Pak Ahmad

Atau mungkin Pak Ahmad takut memarahiku karena aku adalah anak pengusaha kaya raya yang menjadi penyumbang terbesar sekolah ini. Mereka sangat mengenali kearoganan ayahku. “Kenapa tidak dijawab pertanyaan Bapak?”tanyanya lembut kepadaku. “ Pak, saya ketiduran karena menunggu Bapak yang lama masuk kelas. Jadi saya tidak salah. Apalagi di kelas panas sekali.” “ Iya, Bapak meminta maaf datang terlambat. Di kelas tadi baru pengantar apa saja yang akan kita lakukan selama satu tahun di kelas 6, sekaligus perkenalan. Karena Fahri tidak masuk tadi, kita perkenalan di sini saja ya.” “Bapak sudah tahu kan nama saya. Saya juga sudah tahu nama Bapak. Untuk apa kita perkenalan lagi.” “Perkenalan tidak hanya sebatas tahu nama. Bapak ingin mengenali murid-murid Bapak lebih dari itu. Bagaimana Bapak bisa mendidik dengan baik jika Bapak sama sekali tidak mengenal kalian lebih dari sekadar tahu nama saja. Bapak ingin tahu lebih dari itu.” Kuturuti saja apa kemauan guru kelasku. Setidaknya, aku tidak dimarahinya hari ini. Kujawab pertanyaan panjang dari Pak Ahmad terkait diriku, keluargaku, kesukaanku, dan hal yang tidak kusukai. Pak Ahmad juga bertanya terkait harapanku terhadap dirinya sebagai guru dan harapan pembelajaran yang kuinginkan. Pertanyaan yang sebenarnya cukup aneh bagiku, tapi entah mengapa seperti menjadi muntahan perasaanku. Ada yang lega di sudut sana. Ah, entahlah. “Baiklah, hari ini cukup dulu . Sekarang kita sholat dulu ya. Sudah jam 1 siang.Setelah itu kita pulang. Teman-temanmu sudah pulang dari jam 11 tadi karena hari ini pulang cepat.” “Saya sholatnya di rumah saja, Pak. Mau langsung pulang saja. Saya lapar.” Pak Ahmad tersenyum sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini ada roti, makanlah. Cukup untuk mengganjal sementara perutmu yang lapar. Setelah itu ke mushola sekolah ya. Kita Zuhur bareng. Bapak tunggu di sana ya!” Aku menerima roti tersebut dan melahapnya. Perutku memang sangat lapar sekali. Tapi, jangan berharap aku akan ke mushola setelah ini. Lebih baik pulang bermain Play Station di kamar. Esok pun tiba. Lonceng sekolah berteriak kencang membubarkan kerumunan siswa di halaman sekolah untuk segera memasuki kelas. Guru pun satu persatu memasuki kelasnya masing-masing, begitupun Pak Ahmad. Bunyi sepatu tua khas nya sudah kami kenali. Sepatu hitam dengan warna yang telah memudar dan usang. Entah kenapa Pak Ahmad masih menggunakannya. Aku menatap Pak Ahmad. Sekilas kami beradu pandang. Aku pun segera mengalihkan wajahku. Aku tidak peduli Pak Ahmad mau marah padaku atau tidak. “Anak-anak, kalian adalah sebuah kertas yang telah tertulis. Tapi tulisannya masih kabur. Di kertas tersebut tertulis laku anak-anak yang baik maupun yang tidak baik. Dengan Pendidikan lah, kita bisa menebalkan tulisan perilaku yang baik tersebut dan membiarkan tulisan perilaku yang tidak baik itu kabur. Dengan Pendidikan lah, kalian dapat dituntun menjadi pribadi-pribadi yang bijaksana. Seperti Filosofi Ki Hajar Dewantara, ibarat petani, Bapak hanya dapat berusaha memberikan lahan yang subur untuk tumbuh kembang kalian, menyiram, memupuk, dan memberikan pencahayaan yang cukup. Tapi Bapak tidak akan pernah bisa mengubah padi menjadi berbuah apel atau anggur. Karena itu terkait dengan kodrat kalian. Dan tugas Bapak di sini adalah menuntun kalian dan membersamai anak-anak semua dalam tumbuh kembang kalian di sini.“ Suasana kelas begitu senyap. Mungkin semua anak mencoba merenungi apa yang disampaikan oleh Pak Ahmad. Sebuah kata yang begitu filosofis, tapi sungguh bermakna.

Tinggalkan Balasan