You are currently viewing AI Bisa Mengajar, Tapi Tak Bisa Mendidik Hati

AI Bisa Mengajar, Tapi Tak Bisa Mendidik Hati

Permasalahan ini bukan karena guru tidak pandai mengajar. Tapi karena kita—sebagai sistem—mulai lupa bahwa pendidikan karakter adalah fondasi dari segalanya.

Saya sering bertanya kepada guru-guru yang saya temui: “Apa momen paling berkesan selama mengajar?” Dan jawabannya selalu sama. Bukan tentang nilai murid yang tinggi, atau lomba yang dimenangkan. Tapi tentang murid yang dulu pemalu, sekarang berani bicara. Tentang anak yang dulu nakal, kini jadi pemimpin desa. Tentang surat kecil bertuliskan “Terima kasih Bu, karena Ibu saya tidak putus sekolah.” Semua itu bukan hasil dari kecanggihan. Tapi dari kehadiran hati seorang guru.

AI bisa menjadi alat bantu. Tapi guru adalah jiwa dari pendidikan. Karakter tidak bisa diajarkan lewat layar. Ia tumbuh dari keteladanan, dari cara guru menyapa dengan sopan, menegur dengan lembut, dan merangkul dengan ikhlas.

Kita butuh lebih banyak guru yang berani berkata, “Saya bukan sekadar mengajar, saya mendidik.” Karena itu dua hal yang sangat berbeda. Mengajar bisa dilakukan oleh siapa saja—bahkan oleh mesin. Tapi mendidik? Itu panggilan jiwa.

Saya tahu, hari-hari ini tidak mudah bagi guru. Tuntutan administrasi menumpuk. Gaji sering tak sebanding dengan beban. Dan kini, datanglah “saingan baru” bernama AI yang seolah bisa melakukan semuanya lebih cepat dan lebih efisien. Tapi justru di sinilah letak harapan.

Karena ketika dunia makin dingin oleh mesin, kitalah yang harus tetap hangat.

Menjadi guru hari ini adalah perjuangan menjaga kemanusiaan. Mengajarkan bahwa nilai jujur lebih penting dari nilai ujian. Bahwa menghargai teman lebih bermakna daripada memenangkan lomba. Bahwa menjadi manusia yang baik jauh lebih dibutuhkan daripada menjadi manusia yang sekedar pintar.

Leave a Reply