Lebaran tahun ini pun memperlihatkan gejala baru: disrupsi sosial ekonomi. Survei terbaru memperkirakan jumlah pemudik menurun signifikan, hingga 24% dari tahun sebelumnya. Ini bukan sekadar angka—ini adalah cermin dari kejenuhan ekonomi, tekanan hidup, dan kerapuhan sosial. Banyak yang memutuskan untuk tidak pulang, bukan karena tak rindu, tapi karena tak mampu. Biaya mudik bukan hanya tiket dan oleh-oleh. Ada ongkos sosial yang tak tertulis: gengsi, ekspektasi, bahkan pembandingan diam-diam dari keluarga sendiri.
Dan di tengah realitas itu, hadir pula alienasi digital. Gawai yang sejatinya mendekatkan, justru menciptakan jarak. Kita pulang, tapi tidak betul-betul hadir. Silaturahmi tergantikan selfie. Obrolan keluarga tergeser notifikasi grup alumni. Di ruang tamu, semua sibuk dengan layar masing-masing. Kita hadir secara fisik, tapi tidak secara emosional.
Selfie-rahmi menggantikan silaturahmi. Idulfitri, sayangnya, sedang mengalami krisis makna. Dari momen sakral menjadi ritual konsumtif. Dari momentum spiritual menjadi perlombaan eksistensi. Kita perlu kembali bertanya: untuk siapa semua ini dilakukan? Untuk diri sendiri? Untuk keluarga? Atau sekadar untuk memenuhi ekspektasi sosial yang dibentuk algoritma media sosial ?
Padahal, sejatinya Lebaran adalah tentang kesederhanaan yang penuh makna. Tentang kembali ke rumah—secara fisik, emosional, dan spiritual. Tentang merangkul, bukan memamerkan. Tentang membasuh luka, bukan menambah beban.
Sudah saatnya kita meredefinisi ulang bagaimana seharusnya merayakan Lebaran. Bukan berarti menolak modernitas atau menutup diri dari budaya kekinian. Tapi kita butuh menyeimbangkan: antara tampilan dan esensi, antara kebutuhan dan keinginan. Cukup kan diri dengan yang memang perlu, bukan yang sekadar ingin.